Djokokristianto’s Blog


24 Februari 2009, 09:08
Filed under: Uncategorized

Lembaga keuangan syariah kembali membuktikan daya tahannya dari terpaan krisis keuangan yang melanda dunia. Sementara bank-bank konvensional di seluruh dunia bangkrut atau merugi hingga lebih dari 400 milyar dollar akibat krisis di sektor kreditnya, industri perbankan syariah menunjukkan menunjukkan kebalikannya.

Lembaga-lembaga keuangan syariah tetap memberikan keuntungan, kenyamanan dan keamanan bagi para pemegang sahamnya, pemegang surat berharga, peminjam dan para penyimpan dana yang mempercayakan uangnya didepositkan di bank-bank syariah.

Di tengah krisis keuangan global, industri keuangan syariah malah mengalami pertumbuhan sebesar 1 triliun dollar dan dipekirakan akan terus berkembang meliputi investor-investor non-Muslim.

Para investor yang trauma akibat krisis keuangan bisa lebih nyaman jika menanamkan investasinya di lembaga-lembaga keuangan syariah, yang menerapkan peraturan ketat berdasarkan hukum Islam dalam memberikan pinjaman. Sistem keuangan berbasis syariah mensyaratkan untuk mengambil keuntungan hanya dari investasi-investasi yang dilakukan secara etis dan bertanggunggung dari sisi sosial. Sistem ekonomi syariah, melarang mengambil keuntungan dari sistem riba, seperti sistem bunga yang diterapkan bank-bank konvensional dan melarang mengambil keuntungan dari investasi-investasi haram seperti perjudian, pornografi dan bisnis babi.

”Krisis ini merupakan titik balik bagi sistem pinjaman konservatif yang sudah usang. Kondisi pasar global sekarang ini memberikan kesempatan yang besar bagi lembaga keuangan Islami untuk menunjukkan apa yang bisa dilakukannya-untuk mengisi gap likuiditas yang terjadi,” kata David Testa, Eksekutif Gatehouse Bank yang memulai operasinya sebagai bank Islam kelima di Inggris, bulan April kemarin.

Asian Development Bank (ADB) mempekirakan, asset-asset lembaga keuangan islami secara global mencapai 1 triliun dollar dengan angka pertumbuhan per tahun sebesar 10 sampai 15 persen. Perkiraan ini bisa lebih tinggi, karena perkembangan pesat industri keuangan Islami telah menarik minat perusahaan-perusahaan dari luar Timur Tengah.

Para analis keuangan sudah banyak yang mengakui bahwa industri keuangan Islami menerapkan sistem yang berbeda yang membuat resikonya relatif kecil. Meski ada juga sejumlah analis yang meragukan keamanan sistem keuangan berbasis syariah. Mereka mengatakan, para komentator terlalu bersemangat dalam mempromosikan keunggulan-keunggulan sistem keuangan Islami sebagai produk yang aman.

”Sistem keuangan Islami tidak kebal terhadap resiko,” kata Mohamad Damak dari Standard & Poor’s. Ia mengkritik maraknya pembiayaan real estate di kawasan Teluk selama tiga tahun belakangan ini-terutama pembiayaan yang dilakukan lembaga-lembaga keuangan syariah-di tengah membubungnya harga-harga properti.

”Koreksi di sektor real estate akan menimbulkan dampak bagi bank-bank Islami yang terlibat dalam bisnis ini. Sistem keuangan Islami tidak kebal terhadap krisis,” kritik Damak.

Sementara sejumlah analis masih memperdebatkan soal keamanan sistem keuangan Islami, banyak pula yang mengakui bahwa industri keuangan Islami kini mulai dilirik banyak orang yang sudah kehilangan kepercayaan dengan sistem keuangan kapitalis.

”Jika bank-bank Islami menunjukkan langkah maju, maka sistem keuangan Islami akan menjadi daya tarik,” kata Testa.

Sukuk Menjadi Pilihan

Krisis keuangan di Barat menyebabkan perusahaan-perusahaan di seluruh dunia kehilangan kepercayaan dengan sistem pinjaman konvensional. Mereka kini mulai mengalihkan perhatian ke lembaga-lembaga keuangan Islami di kawasan Teluk untuk mengamankan dana-dana mereka. Dan yang menjadi daya tarik perusahaan-perusahaan Barat itu adalah sukuk, surat obligasi negara syariah.

”Banyak klien kami mulai melihat ke Timur Tengah dan ke institusi-institusi di Timur Tengah. Mereka menjajagi apakah lembaga-lembaga itu bisa membantu bisnis mereka dan apakah ada peluang-peluang yang lebih luas bagi institusi-institusi Barat untuk masuk ke Timur Tengah dan mengadopsi standar-standar keuangan Islami,” kata Neil Miller, ketua departemen keuangan Islami di Norton Rose.

Menurut Miller, perusahaan-perusahaan dari berbagai belahan dunia mau melakukan apa saja agar bisa mendapatkan akses ke negara-negara petrodollar, termasuk mekonfigurasi ulang transaksi-transaksi untuk menghindari agar asset dan struktur mereka tidak dianggap bertentangan dengan konsep syariah.

”Mereka yang mengatur hal itu sedang mellihat apakah mereka bisa merekstrukturisasi kesepakatan-kesepakatan mereka ke dalam kesepakatan-kesepakatan yang berbasis syariah. Mereka juga sedang melihat apakah bisa membuat sebuah peluang investasi atau apapun itu, yang paralel dengan konsep syariah,” papar Miller.

Perkembangan baru ini terjadi seiring dengan makin maraknya pasar sukuk. Situs Arabianbusiness menyebutkan, meski tahun 2008 mengalami perlambatan, sampai tahun ini, surat obligasi negara syariah mengalami perkembangan yang cukup pesar di pasar surat berharga di seluruh dunia. Nilai sukuk meningkat dua kali lipat setiap tahunnya sejak tahun 2004. Pada akhir tahun 2007, nilai sukuk bahkan mencapai 90 milyar dollar di seluruh dunia dan posisinya sebagai pilar penting dari sistem keuangan Islami tidak perlu dipertanyakan lagi.

Minat yang besar perusahaan-perusahaan Barat pada sukuk sebagai alternatif pembiayaan , apalagi setelah krisis keuangan yang terjadi saat ini, diakui oleh Sekretaris Jenderal ASEAN, Surin Pitsuwan.

Dalam Konferensi Economic Outlook for Southeast Asian Countries di Dubai pekan kemarin, Pitsuwan mengatakan, “Saya piker perusahaan-perusahaan asing menyadari bahwa ada banyak alternatif dan mereka akan mengeksplorasi lebih dalam. Mereka akan melihat inisiatif baru, ke bank-bank Islami untuk mendapatkan modal dan sumber-sumber untuk melayani klien-klien mereka. Kecenderungan ini mulai meningkat.” (ln/IHT/Islamicity/Ab)



Krisis Global
24 Februari 2009, 09:04
Filed under: Uncategorized

Krisis Global Tak Lebih Hebat dari Krisis ’98

JAKARTA – Krisis yang terjadi di Indonesia akibat krisis global, tidak akan lebih hebat dampaknya daripada krisis yang terjadi pada tahun 1998.

“Krisis kali ini tidak melebihi krisis 1998, tapi akan menimbulkan lebih banyak pengangguran,” ujar pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy, sebelum seminar tentang Dampak Krisis AS, di Cafe Darmint, Jalan Tebet Utara, Jakarta, Jumat (10/10/2008).

Hal ini, menurutnya adalah karena pada tahun 1998 industri sedang berkembang dengan sangat bagus. Sedangkan, sekarang ini kondisi industri tidak seperti itu.

“Sekarang ini industri sedang melemah, sehingga nanti yang berkembang adalah sektor yang menjual barang yang tidak bisa diperdagangkan kembali,” jelasnya.

Walaupun demikian, Noorsy menjelaskan, ancaman ke depan akan lebih dahsyat daripada pada tahun 1998 tersebut.

“Yakni, ancaman subprime mortgage seperti yang terjadi AS akan terjadi di Indonesia,” kata mantan komisaris Bank Permata ini.

Lebih jauh dia menjelaskan, hal ini karena indutri manufaktur akan terus menurun, sehingga sektor informal membengkak. Selain itu, kredit macet akibat kartu kredit pun mempengaruhi. “Begitu juga dengan kredit motor dan kredit rumah melemah. Sementara itu impor membengkak serta ekspor turun,” jelasnya. (ade)



Pariwisata jogja
7 Februari 2009, 11:03
Filed under: pariwisata

Artikel Pariwisata Jogja / Yogyakarta

YogYES.COM menyediakan kumpulan artikel menarik tentang pariwisata Jogja / Yogyakarta. Selain mengambil dari berbagai sumber, YogYES.COM juga menerima kiriman artikel dari pengunjung sepanjang masih berkaitan dengan pariwisata Jogja / Yogyakarta.

_uacct = “UA-3148654-1”;
urchinTracker();



7 Februari 2009, 10:46
Filed under: Uncategorized
profil

profil



Krisis Ekonomi
7 Februari 2009, 10:36
Filed under: krisis ekonomi

Krisis keuangan yang menimpa negara AS mengguncang perekonomian global. Perusahaan-perusahaan besar banyak yang ambruk, bank-bank internasional dan pemerintahan di berbagai negara mengucurkan dana dalam jumlah besar ke pasar uang untuk meredakan guncangan krisis. Sementara ribuan orang kini terancam jadi pengangguran karena banyak perusahaan besar terancam tutup.

Apa yang menimpa AS dan imbasnya ikut dirasakan seluruh dunia, menunjukkan rapuhnya sistem ekonomi kapitalis yang dianut negara adidaya itu dan mayoritas negara-negara di dunia. Presiden AS George W. Bush dalam pidatonyaa bahkan mengakui negaranya sedang terancam resesi dan harus segera dilakukan tindakan penyelamatan dengan mengucurkan dana segar ke pasar uang.

Krisis keuangan yang dialami AS merupakan krisis terburuk dalam kurun waktu bepuluh-puluh tahun sejarah perekonomian kapitalis yang dianut Negeri Paman Sam itu. Ambruknya perekonomian AS, inikah pertanda akan berakhirnya sistem kapitalis dan mampukah AS menyelamatkan ekonomi negaranya? Sejumlah pakar dan analis ekonomi menyampaikan pernyataannya.

Ekonom dan profesor di University of Texas, James Galbraith meyakini perekonomian AS akan mampu bertahan menghadapi hantaman krisis ini karena posisi mata uang dollar masih cukup kuat. Galbraith mengungkapkan keyakinannya bahwa  sistem perekonomian kapitalis akan tetap eksis. Meski demikian, ia menyesalkan para pejabat dan pelaku usaha di AS yang tidak mau belajar dari pengalaman serupa.

“Kita harus melihat dan menunggu. Tapi mereka tidak mau belajar dari kesalahan, sudah berapa kali hal seperti ini terjadi?” ujar Galbraith.

Menurut Galbraith, pemerintahan Bush lah yang telah merusak sistem ekonomi kapitalis yang dianut AS. Perilaku bank-bank di AS yang kurang berhati-hati, adalah akibat kebijakan-kebijakan Bush yang terlalu memberikan keleluasaan penuh bagi bank-bank untuk melakukan apapun tanpa pengawasan ketat pemerintah. ” Ini adalah akibat fungsi sistem keuangan yang tidak dijalankan sesuai aturannya.” tukas Galbraith.

Ia mengatakan, krisis ini adalah tantangan bagi pemerintahan baru AS nanti. “Pemerintahan baru harus membuat filosofi yang berbeda dan serius berkomitmen untuk membawa perubahan baru bagi rakyatnya,” kata Galbraith.

Gerald Friedman, ekonom, profesor di University of Massachussets ragu mengatakan bahwa krisis ekonomi AS adalah tanda-tanda berakhirnya sistem ekonomi kapitalis. Meski demikian ia mengakui AS telah mengalami krisis finansial yang sangat serius dan jika salah menanganinya akan menyebabkan resesi yang cukup serius bahkan depresi.  ” Walau mungkin tidak seburuk depresi yang terjadi di era tahun 1929-1940-an, karena otoritas berwenang di AS mau bersikap kooperatif dengan krisis ini,” ujar Friedman.

“Dan yang lebih penting lagi, sebuah sistem kapitalis atau sistem sosial apapun hanya bisa dihancurkan oleh sistem yang berlawanan yang didukung oleh munculnya kelas-kelas dalam perekonomian,” sambung Friedman.

Namun ia mengingatkan, krisis ini akan bertambah buruk jika pemerintah tidak mengubah arah kebijakan. Dalam hal ini, pemerintah harus berusaha menyelamatkan perusahaan-perusahaan besar untuk membantu rakyatnya, paling tidak untuk mengindari ledakan pengangguran.

Yang paling yakin bahwa krisis di AS bukan pertanda akan berakhirnya sistem ekonomi kapitalis adalah Mark Weisbrot, salah satu direktur Center for Economic and Policy  Research (CEPR). Alasannya, Bank Federal AS masih mampu menyediakan likuiditas sehingga krisis perlahan-lahan akan berakhir.

Yang menjadi masalah, kata Weisbrot, adalah situasi ekonomi riil misalnya kondisi pasar uang yang mengalami gangguan akibat persoalan menggelembungnya pembiayaan untuk perumahan dan situasi akan terus berlanjut bahkan jika krisis yang dihadapi perbankan bisa diatasi. Sehingga masih akan terjadi kebangkrutan sejumlah institusi ekonomi yang tidak kuat secara finansial termasuk bangkrutnya sejumlah bank

“Selama 40 tahun belakangan ini, telah banyak krisis yang terjadi. Krisis kali ini adalah krisis terburuk setelah depresi yang dialami AS pada era tahun 1930-an. Tapi saya tidak mau membesar-besarkannya,” ujar Weisbrot.

Weisbrot mengatakan, pemerintah AS harus mengubah kebijakannya dan harus cerdas dalam menerapkan kebijakan keuangan itu. Karena jika krisis berlanjut menjadi resesi, yang akan menjadi korban adalah masyarakat awam yang terancam kehilangan rumah-rumah mereka, kehilangan hak-hak dan tabungan mereka.

Seorang pakar di Competitive Enterprise Institute John Berlau termasuk orang yang dengan tegas mengatakan, bahwa sistem kapitalis akan tetap eksis seberat papaun krisis yang dialami AS. Alasannya, sudah sejak lama  AS tidak menerapkan sistem kapitalis murni.

“Sistem perbankan kita sudah diawasi dengan ketat, tapi kita sudah mengesampingkan aturan-aturan untuk bank-bank. Kita harus berani menghapus aturan-aturan itu sehingga bank-bank bisa berkompetisi dengan sehat,” kata Berlau.

“Saya pikir, sudah saatnya kita memodernisasi regulasi dan memperbaharui aturan-aturan perbankan,” sambungnya.

Pakar ekonomi lainnya James S. Henry yang juga penulis buku “The Blood Bankers” berpendapat yang terjadi bukan akhir dari sistem kapitalis tapi awal agar lebih berhati-hati dalam menerapkan regulasi di sektor keuangan  dan perumahan. Tapi, kata Henry, tidak bisa dipungkiri bahwa krisis yang menimpa AS telah mengubah sifat dasar dari sistem kapitalis. Ironisnya, hal itu terjadi karena campur tangan pemerintah yang didominasi tokoh-tokoh yang ingin menerapkan pendekatan neo-liberal dalam sistem kapitalis.

Lebih lanjut Henry mengatakan, masyarakat tidak perlu mengkhawatirkan akan terjadinya kebangkrutan ekonomi AS karena yang terjadi sekarang cuma stagnansi ekonomi. (ln/aljz)



Manajemen SDM
7 Februari 2009, 10:11
Filed under: Manajemen